Pada zaman dahulu kala,
ada seorang jendral dari negeri Tiongkok Kuno yang terkenal baik dan sangat
bijaksana
. Karena kebijaksanaan yang dimilikinya dia menjadi sosok yang
dicintai dan disegani oleh banyak kalangan. Kebaikan sang Jendral bahkan telah
membuat Kaisar sendiri mulai merasa risih. Ia tak menyukai keberadaan sang
Jenderal di lingkungan kekuasaannya. Hal itu disebabkan karena Kaisar hanya
memperrhitungkan kemewahan dan kekuasaan pribadi semata. Tentu sangat bertolak
belakang dengan prinsip kebijaksanaan sang Jenderal yang lebih mengedepankan
nasib rakyat di atas kepentingan pribadi. Karena itu, di mata rakyat, kewibaan
sang Jenderal pun hamper menyamai kewibaan sang Kaisar sendiri.
Keadaan semacam itu
memaksa Kaisar untuk tidak tinggal diam. Ia merasakan situasi mulai tidak aman.
Kedudukannya dirasa sebuah ancaman. Namun begitu, tidak mungkin dia melakukan
hukuman secara terang-terangan kepada sang Jenderal. Apabila hal itu dilakuka,
maka akan mengundang kemarahan rakyatnya jika itu ia lakukan, tentu akan
membuat kewibaannya jatuh.
Ahkirnya, dengan
muslihat yang licik, Kaisar pun menugaskan sang Jenderal untuk memimpin
pasukannya untuk melawan musuh yang jumlahnya sepuluh kali lipat lebih banyak.
Dengan cara seperti itu kaisar berharap sang Jenderal akan binasa di tengah
medan pertempuran. Kematian Jenderal akan membuatnya merasa aman dari ancaman.
Ia tak ingin kehilangan kewibawaan lingkungan kekuasaannya sendiri.
Sebagai seorang prajurit yang setia
terhadap Negara, serta menjunjung tinggi segala mandat yang dilimpahkan
kepadanya, sang Jendral pun menerima tugas itu dengan keberanian sebagaimana
layaknya seorang ksatria. Dengan kekuatan pasukan tidak seberapa jumlahnya,
disbanding kekuatan musuh yang akan dihadapinya, sang Jendral pun berangkat
hendak menuju medan pertempuran.
Ironisnya, mengetahui
kondisi dan kekuatan musuh yang tak seimbang, seluruh prajurit yang dipimpinnya
pun merasa gentar. Hal itu secara tidak langsung semakin melemahkan semangat
dan daya tempur mereka. Ada kasak-kusuk, dan kepanikan serta kecemasan di dalam
diri pasukan tersebut. Namun, tidak satu pun dari mereka yang mengungkapkannya
secara langsung kepada sang Jendral. Suatu kehinaan jika seorang prajurit
menunjukan sikap takut dan gentar pada saat-saat sedang menghadapi situasi
perang semacam ini.
Meski demikian, sesungguhnya sang
Jenderal sendiri mampu merasakan adanya situasi yang mencemaskan itu. Ketakutan
itu membuat mereka menjadi lemah dan jika dibiarkan maka kekalahan akan
benar-benar menjadi kenyataan yang tak terhindarkan.
Akhirnya, dalam perjalanan menuju medan
perang itu, sang Jenderal mengajak para prajuritnya untuk berhenti sejenak di
sebuah altar vihara. Sang Jenderal berkata pada anak buahnya, “Kita sedang
berjalan menuju medan peperangan yang tidak seimbang. Kekuatan musuh jauh lebih
besar dari kekuatan yang kita miliki. Akan tetapi ini adalah sebuah pengabdian,
sebuah pilihan kebajikan yang harus dilakukan kita sebagai seorang prajurit.
Kalau pun kita kalah, kita kalah dan mati secara terhormat, dan para dewa
menjadi saksi atas semua itu. Karena itu, sebelum kita bertempur di medan laga,
saya sebagai pemimpin dan penanggung jawab atas keberadaan pasukan ini, akan
melakukan sembahyang dan berdo’a meminta petunjuk para dewa.”
Sang Jenderal pun masuk
ke dalam vihara untuk berdo’a dan memohon petunjuk. Sementara para prajuritnya
menanti diluar vihara dengan harap-harap cemas. Tidak berselang lama, sang
Jenderal pun keluar dari vihara. Ia berteriak pada seluruh pasukannya, “Kita
telah mendapat petunjuk dari langit.” Katanya dengan nada yang begitu tegas dan
meyakinkan. Lalu ia mengeluarkan koin emas yang merupakan symbol kerajaan dari
sakunya.
Sambil mengacungkan koin itu ke udara ia
berkata, “Sebagai seorang prajurit, tak ada jalan mundur sebelum berperang.
Sekarang, kita dengarkan apa yang nasib katakana pada kita. Mari kita adakan
toss. Bila kepala yang muncul, maka kita akan menang. Tapi bila ekor yang
muncul, kita akan kalah. Hidup kita hari ini cuma tergantung pada nasib.”
Jenderal lalu melempar
koin emas itu ke udara. Koin emas pun berputar-putar sejenak di angkasa, lalu
jatuh berguling-guling di tanah. Seluruh pasukan mengamati dengan berdebar,
gerangan apa yang akan muncul. Setelah agak lama menggelinding, koin itu
berhenti persis di hadapan Jenderal. Dan yang muncul adalah KEPALA. Kontan
seluruh pasukan berteriak kesenangan.
“Hore…!! Kita akan
menang. Nasib berpihak pada kita. Ayo serbu dan hancurkan itu musuh. Kemenangan
telah pasti untuk kita!”
Dengan penuh semangat Jenderal dan
pasukannya bergerak menuju medan perang. Pertempuran berlangsung dengan sengit.
Ternyata dengan keyakinan dan tekad yang membaja akhirnya musuh yang tak
terhingga banyaknya dapat mereka kalahkan.
Sesampainya di Ibu Kota mereka disambut
meriah oleh seluruh penduduk. Kaisar pun terkagum-kagum mendengar kisah
peperangan yang dahsyat itu. Beliau bertanya pada sang Jenderal bagaimana ia
mampu mengobarkan semangat pasukannya hingga begitu gagah berani di medan
perang.
Sang Jenderal kemudian
menyerahkan koin emasnya pada Kaisar sambil berkata, “Paduka, inilah yang
memberikan mereka nasib baik.”
Raja menerima dan mengamati koin emas
itu yang ternyata kedua sisinya bergambar KEPALA..!!
Demikianlah sebuah motivasi, sesuatu
yang hanya kata-kata. Ketika ia mampu menyelinap dan mempengaruhi cara berfikir
seseorang, lebih-lebih pada kekuatan semangat, maka ia bukan sekedar kata-kata,
tapi berubah wujud menjadi sebuah kekuatan dahsyat yang tak terduga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar