Sabtu, 05 Mei 2012

Cerita motivasi



Pada zaman dahulu kala, ada seorang jendral dari negeri Tiongkok Kuno yang terkenal baik dan sangat bijaksana
. Karena kebijaksanaan yang dimilikinya dia menjadi sosok yang dicintai dan disegani oleh banyak kalangan. Kebaikan sang Jendral bahkan telah membuat Kaisar sendiri mulai merasa risih. Ia tak menyukai keberadaan sang Jenderal di lingkungan kekuasaannya. Hal itu disebabkan karena Kaisar hanya memperrhitungkan kemewahan dan kekuasaan pribadi semata. Tentu sangat bertolak belakang dengan prinsip kebijaksanaan sang Jenderal yang lebih mengedepankan nasib rakyat di atas kepentingan pribadi. Karena itu, di mata rakyat, kewibaan sang Jenderal pun hamper menyamai kewibaan sang Kaisar sendiri.
Keadaan semacam itu memaksa Kaisar untuk tidak tinggal diam. Ia merasakan situasi mulai tidak aman. Kedudukannya dirasa sebuah ancaman. Namun begitu, tidak mungkin dia melakukan hukuman secara terang-terangan kepada sang Jenderal. Apabila hal itu dilakuka, maka akan mengundang kemarahan rakyatnya jika itu ia lakukan, tentu akan membuat kewibaannya jatuh.
Ahkirnya, dengan muslihat yang licik, Kaisar pun menugaskan sang Jenderal untuk memimpin pasukannya untuk melawan musuh yang jumlahnya sepuluh kali lipat lebih banyak. Dengan cara seperti itu kaisar berharap sang Jenderal akan binasa di tengah medan pertempuran. Kematian Jenderal akan membuatnya merasa aman dari ancaman. Ia tak ingin kehilangan kewibawaan lingkungan kekuasaannya sendiri.
Sebagai seorang prajurit yang setia terhadap Negara, serta menjunjung tinggi segala mandat yang dilimpahkan kepadanya, sang Jendral pun menerima tugas itu dengan keberanian sebagaimana layaknya seorang ksatria. Dengan kekuatan pasukan tidak seberapa jumlahnya, disbanding kekuatan musuh yang akan dihadapinya, sang Jendral pun berangkat hendak menuju medan pertempuran.
Ironisnya, mengetahui kondisi dan kekuatan musuh yang tak seimbang, seluruh prajurit yang dipimpinnya pun merasa gentar. Hal itu secara tidak langsung semakin melemahkan semangat dan daya tempur mereka. Ada kasak-kusuk, dan kepanikan serta kecemasan di dalam diri pasukan tersebut. Namun, tidak satu pun dari mereka yang mengungkapkannya secara langsung kepada sang Jendral. Suatu kehinaan jika seorang prajurit menunjukan sikap takut dan gentar pada saat-saat sedang menghadapi situasi perang semacam ini.
Meski demikian, sesungguhnya sang Jenderal sendiri mampu merasakan adanya situasi yang mencemaskan itu. Ketakutan itu membuat mereka menjadi lemah dan jika dibiarkan maka kekalahan akan benar-benar menjadi kenyataan yang tak terhindarkan.
Akhirnya, dalam perjalanan menuju medan perang itu, sang Jenderal mengajak para prajuritnya untuk berhenti sejenak di sebuah altar vihara. Sang Jenderal berkata pada anak buahnya, “Kita sedang berjalan menuju medan peperangan yang tidak seimbang. Kekuatan musuh jauh lebih besar dari kekuatan yang kita miliki. Akan tetapi ini adalah sebuah pengabdian, sebuah pilihan kebajikan yang harus dilakukan kita sebagai seorang prajurit. Kalau pun kita kalah, kita kalah dan mati secara terhormat, dan para dewa menjadi saksi atas semua itu. Karena itu, sebelum kita bertempur di medan laga, saya sebagai pemimpin dan penanggung jawab atas keberadaan pasukan ini, akan melakukan sembahyang dan berdo’a meminta petunjuk para dewa.”

Sang Jenderal pun masuk ke dalam vihara untuk berdo’a dan memohon petunjuk. Sementara para prajuritnya menanti diluar vihara dengan harap-harap cemas. Tidak berselang lama, sang Jenderal pun keluar dari vihara. Ia berteriak pada seluruh pasukannya, “Kita telah mendapat petunjuk dari langit.” Katanya dengan nada yang begitu tegas dan meyakinkan. Lalu ia mengeluarkan koin emas yang merupakan symbol kerajaan dari sakunya.
Sambil mengacungkan koin itu ke udara ia berkata, “Sebagai seorang prajurit, tak ada jalan mundur sebelum berperang. Sekarang, kita dengarkan apa yang nasib katakana pada kita. Mari kita adakan toss. Bila kepala yang muncul, maka kita akan menang. Tapi bila ekor yang muncul, kita akan kalah. Hidup kita hari ini cuma tergantung pada nasib.”
Jenderal lalu melempar koin emas itu ke udara. Koin emas pun berputar-putar sejenak di angkasa, lalu jatuh berguling-guling di tanah. Seluruh pasukan mengamati dengan berdebar, gerangan apa yang akan muncul. Setelah agak lama menggelinding, koin itu berhenti persis di hadapan Jenderal. Dan yang muncul adalah KEPALA. Kontan seluruh pasukan berteriak kesenangan.
“Hore…!! Kita akan menang. Nasib berpihak pada kita. Ayo serbu dan hancurkan itu musuh. Kemenangan telah pasti untuk kita!”
Dengan penuh semangat Jenderal dan pasukannya bergerak menuju medan perang. Pertempuran berlangsung dengan sengit. Ternyata dengan keyakinan dan tekad yang membaja akhirnya musuh yang tak terhingga banyaknya dapat mereka kalahkan.
Sesampainya di Ibu Kota mereka disambut meriah oleh seluruh penduduk. Kaisar pun terkagum-kagum mendengar kisah peperangan yang dahsyat itu. Beliau bertanya pada sang Jenderal bagaimana ia mampu mengobarkan semangat pasukannya hingga begitu gagah berani di medan perang.
Sang Jenderal kemudian menyerahkan koin emasnya pada Kaisar sambil berkata, “Paduka, inilah yang memberikan mereka nasib baik.”
Raja menerima dan mengamati koin emas itu yang ternyata kedua sisinya bergambar KEPALA..!!
Demikianlah sebuah motivasi, sesuatu yang hanya kata-kata. Ketika ia mampu menyelinap dan mempengaruhi cara berfikir seseorang, lebih-lebih pada kekuatan semangat, maka ia bukan sekedar kata-kata, tapi berubah wujud menjadi sebuah kekuatan dahsyat yang tak terduga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar