Sabtu, 31 Maret 2012

POLIGAMI


I.      PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang Masalah
Perkawinan ideal sebagaimana dikehendaki oleh Islam adalah monogami, yaitu menghendaki perkawinan antara satu pria dan satu wanita. Namun, sebagian masyarakat lainnya mengabsahkan praktek poligami, yaitu memperbolehkan seorang pria menikah dengan lebih dari satu wanita[1]. Melalui pendekatan sosiologis, praktek poligami masa sekarang lebih didorong setidaknya oleh empat motivasi.
Pertama, untuk mewadahi keserakahan seksual. Kedua, para lelaki poligami ingin tetap dianggap menarik secara seksual. Ketiga, untuk mencari kesenangan lain karena sudah bosan dengan istri sebelumnya. Dan keempat, laki-laki ingin membuktikan bahwa dirinya masih kuat dan menarik. Jadi, jarang sekali yang punya motivasi untuk benar-benar menopang yang lemah dan menegakkan keadilan. Pada dasarnya, Undang-Undang perkawinan menganut asas monogami. Bersesuaian dengan ketentuan UUD 1945, jika dilihat dari ketentuan pasal 1 UU No.1 tahun 1974 tentang perkawinan, tampak bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama[2]
B.       Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian poligami dan Hukum Poligami
2.      Asas Poligami dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
3.      Perkawinan Poligami ditinjau dari perspektif agama dan perempuan
4.      Pengertian Poliandri dan Hukun poliandri
5.      Diterimanya Alasan Berpoligami dalam Islam
6.      Kesalahan tentang aturan Poligami
7.      Dampak yang Terjadi Akibat Poligami

II.      PEMBAHASAN
A. Pengertian poligami dan Hukum Poligami
Secara etimologi, istilah poligami berasal dari bahasa yunani, apolus banyak dan gamos artinya perkawinan.
Kata lain yang mirip dengannya ialah ‘poligini’, juga bahasa Yunani; polus artinya banyak dan gene artinya perempuan. Dari pengertian ini bisa dipahami bahwa yang dimaksud dengan ‘poligami’ berarti suatu sistem perkawinan di mana seorang pria mengawini lebih dari seorang perempuan dalam waktu yang bersamaan. Pengertian ini pula yang dianut oleh Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan di Indonesia. Kebalikan dari poligami adalah ‘poliandri’, yakni perempuan mempunyai suami lebih dari satuorang dalam waktu yang bersamaan[3]
Islam membolehkan poligami untuk tujuan kemaslahatan yang ditetapkan bagi tuntutan kehidupan. Allah SWT telah mensyariatkan poligami untuk diterima tanpa keraguan demi kebahagiaan seseorang mukmin didunia dan di akhirat. Islam tidak menciptakan aturan Poligami dan tidak mewajibkannya terhadap kaum muslimin. Dan hukum dibolehkannya telah didahului oleh agama-agama samawi, seperti agama Yahudi dan Nasrani. Kedatangan Islam memberikan landasan dan dasar yang kuat untk mengatur serta membatasi keburukan dan mudharatnya yang terdapat dalam masyarakat yang melakukan poligami. Tujuan semua itu adalah untuk memelihara hak wanita, memelihara kemuliaan mereka yang dulu terabaikan oleh poligami yang  tanpa ikatan, persyaratan, dan jumlah tertentu[4].
C.  Asas Poligami dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Secara hukum, pengajuan ke pengadilan untuk berpoligami harus disertai alasan:   
a.    Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya;
b.  Istri memiliki cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.  Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Ketiga alasan tersebut tidak bersifat kumulatif. Artinya, seorang suami diperbolehkan berpoligami jika istrinya memiliki salah satu kelemahan tersebut. Alasan pertama dan kedua saling terkait, yaitu dalam hal tidak dapat menjalankan kewajiban seorang istri dan adanya cacat tidak dapat disembuhkan sehingga tidak memungkinkannya menjalankan kewajiban sebagai istri.
Beberapa pandangan menganggap dasar alasan tersebut bersifat diskriminatif dan memojokan posisi perempuan untuk terpaksa harus menerima poligami jika memiliki kelemahan seebagaimana dinyatakan dalam pasal tersebut. Dari alasan yang dikemukakan Undang-Undang Perkawinan tersebut, tersirat bahwa poligami pada hakikatnya merupakan bentuk pengunggulan kaum laki-laki dan penegasan bahwa fungsi istri dalam perkawinan hanya untuk melayani suami.
Pandangan tersebut tidak sepenuhnya benar karena dasar filosofi dimungkinkannya poligami dalam Undang-Undang perkawinan lebih mulia. banyaknya kasus lolosnya permohonan izin berpoligami dengan mengabaikan ketentuan Undang-Undang Perkawinan tidak bisa dijadikan alasan menuding Undang-Undang sebagai diskriminatif, tetapi aspek penegakan hukumnya yang harus ditegakkan. Contohnya, pengadilan dan pejabat atasan harus benar-benar selektif dan berhati-hati sebelum mengabulkan permohonan berpoligami. Perlu dicarikan alternatif atau upaya lain sebelum diputuskan berpoligami. Dasar alasan untuk menikah lagi harus memerhatikan aspek keadilan bagi kedua belah pihak[5].
2. Syarat-Syarat diperbolehkan Poligami
a. Adanya persetujuan dari seorang istri atau istri-istri lain jika telah memilki beberapa istri;
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak  mereka; 
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.
Peraturan pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 tahun 1974 menentukan bahwa pengadilan dapat memeriksa ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk memenuhi keperluan hidup istri-istri dan anak-anaknya dengan memperlihatkan:
·      Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat suami bekerja;
·      Surat keterangan pajak penghasilan;
·      Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan[6].
Dengan demikian, dari aspek ketentuan hukumnya, ketentuan Undang-Undang Pernikahan tersebut secara tegas ditentukan bahwa pada asasnya dianut monogami. Penerapan poligami dimungkinkan jika para pihak menyetujui  dan tidak lain ditujukan untuk mengatasi suatu masalah yang tidak dapat diselesaikan. Banyak faktor yang menjadikan poligami banyak terjadi dalam masyarakat tanpa mengindahkan kaidah hukum. Misalnya, faktor tingkat pendidikan masyarakat, budaya, gaya hidup, keteladanan, kurangnya sosialisasi hukum, ataupun lemahnya penegakan hukum ( law enforcement ) menjadi penentu ditaati atau tidaknya pengaturan suatu hukm termasuk hukum tentang poligami. Kesemua faktor tersebut harus dikaji satu per satu dan dicarikan solusinya sehingga ketentuan hukum yang ada dapat berlaku secara efektif[7].

C. Perkawinan Poligami ditinjau dari Perspektif Agama dan Perempuan
Akad nikah berasal dari kata “aqad nikah” yang berasal dari al-Qur’an ‘aqdu al-nikaah dibaca ‘aqdun-nikaah, tetapi memang telah biasa disebut dalam kata sehari-hari di Indonesia dengan sebutan akad nikah. Akad artinya ikatan, nikah artinya perkawinan. Akad nikah berarti perjanjian mengikatkan diri dalam perkawinan antara seorang wanita dengan seorang laki-laki[8]. Syariat poligami dan pembatasannya terdapat dalam dua ayat firman Allah berikut ini :
Maka kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka kawinilah seorang saja, atau budak-budak yang kamu milliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat dengan tidak berbuat aniaya.” (Qs an-Nisa’:3)
Ayat ini juga tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya, tetapi hanya berbicara tentang kebolehannya, dan itupun merupakan pintu darurat yang hanya dilalui saat amat diperlukan dan dengan syarat yang tidak ringan, antara lain yang berkaitan dengan kemampuan seseorang yang hendak berpoligami untuk berlaku adil terhadap para istrinya dalam pemberian nafkah, baik lahir maupun batin[9].

dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara istri-istri(mu), walaupun kam sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkantung-kantung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memeilhara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah maha pengampun lagi maha penyayang.” ( an-Nisa’:129)
 kedua ayat diatas cukup menjelaskan hal-hal yang telah dipahami rasulullah, sahabat-sahabatnya, tabi’in, dan jumhur ulama muslimin tentang hukum-hukum berikut ini :
1.    boleh berpoligami paling banyak hingga empat orang istri;
2.    disyariatkan dapat berbuat adil diantara istri-istrinya;
     barangsiapa yang belum memenuhi ketentuan di atas, dia tidak boleh mengawini wanita lebih dari satu orang. Seorang laki-laki yang sebenarnya meyakini dirinya tidak akan berbuat adil, tetapi tetap melakukan poligami, dikatakan bahwa akad nikahnya sah, tetapi dia telah berbuat dosa.
3.    Keadilan yang disyariatkan oleh ayat di atas mencakup keadilan dalam tempat tinggal, makan, dan minum, serta perlakuan lahir batin;
4.    Kemampuan suami dalam hal nafkah kepada istri kedua dan anak-anaknya.[10]

Perkawinan poligami ditinjau dari perspektif perempuan
Dari penjelasan perkawinan  poligami, dapat diidentifikasi masalah yang mendasar, yaitu :
·         Perlindungan harta anak yatim perempuan
·         Adanya kronologis pembatasan jumlah istri dari tidak terbatas menjadi terbatas (4orang) dan diakhiri dengan monogami
·         Persyaratan mutlak poligami adalah keadilan, dan keadilan itu diragukan dapat dilakukan.
Ketiga persyaratan tersebut jelas memberikan perlindungan bagi kaum perempuan. Namun, dalam kenyataannya perkawinan poligami masih banyak dilakukan bahkan dilegimitasi oleh Undang-Undang.
Isu global tentang penghapusan berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan sebagaimana tertera dalam konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap wanita, yang telah diratifikasi oleh Indonesia dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1984 pasal 16, disebutkan bahwa jika persamaan hak dalam perkawinan bertumpu pada keadilan gender, perkawinan poligami tidak dibenarkan. Al-Qur’an sendiri mengecam laki-laki arab, ketika itu, yang mempunyai kebiasaan menghina istrinya dengan mengatakan, ‘
anti ‘alayya kazhahri ummi’ ( anda seperti punggung ibuku ). Hal itu terlihat dalam surah Al-Mujadalah ayat 3 dan 4 :

“orang-orang yang menzihar istri mereka, kemudian mereka menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami-istri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barang siapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajib atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukm Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih. (QS. Al-Mujadalah:3-4)[11].
D.           Pengertian Poliandri dan Hukumnya
Bentuk yang sangat jarang ditemukan adalah Poliandri, seperti yang sudah dipaparkan diatas tentang pengertian Poliandri, adalah satu istri memiliki beberapa suami. Poliandbahasa ri berasal dari bahasa Yunani polus yang artinya banyak, aner yang berarti negatif, dan andros yang berarti laki-laki. Poliandri hanya bisa  ditelusuri pada masyarakat Toda dan Nayar, di India, Ceylon, Tibet, Marquesan, dan beberapa suku Eskimo. Pada berbagai masyarakat dunia, poliandri sangat dikecam. Dalam ajaran Islam, pengecaman itu dimaksudkan untuk menetralisasikan seseorang dalam keturunannya[12].
Dalam Undang-Undang perkawinan larangan poliandri dalam pasal 3 ayat 1, disebutkan dengan ungkapan : pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Demikianlah kata pasal 3 ayat (1) U.U.P .
Seorang wanita tidak boleh mempunyai suami lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan. Hikmah utama dalam hal ini adalah untuk menjaga kemurnian turunan dan kepastian hukum seorang anak. Dalam hal ini sangat tersangkut soal kewarisan. Menurut hukum kewarisan Islam, seorang dalam kandungan yang kemudian lahir dalam keadaan hidup, mendapat warisan menurut bagian yang sepenuhnya, apabila bapaknya meninggal dunia biarpun dia masih janin dalam kandungan. Adalah sangat tegas QS.An-Nisa’ :

“ . . . dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami “ (QS. An-Nisa’ 24 )
Dilihat dari segi wanita yang bersangkutan maka ketentuan ayat ini adalah berupa larangan untuk berpoliandri[13].
E.       Diterimanya Alasan Berpoligami dalam Islam
a.         Menurut data statistik yang ada dipelbagai negara, jumlah wanita lebih banyak daripada laki-laki. Selain itu disebutkan juga, tentu saja dengan kodrat Allah, lebih banyak wanita yang dilahirkan dan laki-laki yang meninggal lebih banyak dari pada kaum wanita. Kenyataan sekarang ini membuktikan bahwa banyak kalangan laki-laki yang diterjunkan ke kancah peperangan sehingga banyak di antara mereka yang tewas menjadi korban. Salah satu upaya mengatasi perbedaan jumlah yang tidak seimbang antara kaum laki-laki dan wanita, poligami merupakan solusi yang tepat untuk mengatasi perbedaan dan kondisi itu. Jumlah wanita dan laki-laki yang sudah layak kawin adalah empat empat wanita berbanding satu.[14] Hal itu dinyatakan Rasullah sebagai berikut  :
يقل الر جا ل و ىكتر ا لنسا ء حتر ىكو ن لخمسىن ا لم ا ة

“karena laki-laki akan terus berkurang dan kaum wanita semakin banyak sehingga terjadi elak lima puluh wanita berbanding seorang laki-laki”
b.        Istri mandul, sementara suaminya sangat mendambakan keturunan.
c.         Istri menderita sakit berkepanjangan, sehingga terpaksa suaminya berpoligami.
d.        Poligami memberikan kesempatan kepada perawan-perawan tua, janda-janda yang diceraikan karena hidup tanpa suami lebih buruk akibatnya.
e.         Poligami dapat menanggulangi banyak kesulitan kemanusiaan diantaranya :
·      Seorang istri yang suaminya meninggal dunia sedangkan dia memiliki banyak anak
·      Seeorang wanita yang dilahirkan tidak cantik atau cacat sedangkan dia tidak mampu mengubah bentuknya, islam menganjurkan agar orang beriman mengawini wanita seperti itu sehingga kegembiraan dan keseenangan tertanam dalam hatinya.
·      Karena hal tertentu seorang wanita tidak kawin sampai usia mati haid (menepouse), padahal dia ingin sekali untuk kawin. Lebihbaik dia menikah dengan laki-laki yang sudah beristri untuk menopang kehidupannya dari pada tidak kawin sama sekali[15].

F.             Kesalahpahaman Tentang Aturan Poligami
·      Kesalahpahaman pertama, menyangkut kesalahpahaman orang Barat tentang mengapa Islam membolehkan kaum laki-laki untuk berpoligami dan melarang kaum wanita melakukan poliandri. kita katakan bahwa emansipasi wanita dalam hal pernikahan tidak berlaku secara mutlak karena tabiat kaum wanita berbeda dengan kaum laki-laki. Emansipasi atau persamaan di antara keduanya itu dapat berupa kemungkinan adanya sifat zhalim (aniaya) salah satunya terhadap lainnya. Seorang wanita diciptakan Allah memeliki rahin dan dapat hamil sekali dalam setahun. Sedangkan seorang laki-laki tidak demikian, seorang laki-laki dapat mempunyai keturunan anak dan beberapa istri dan dia bertanggungjawab atas nafkah dan pendiidkan mereka. Jika seorang wanita dibolehkan poliandri, dia tidak akan mampu melaksanakan tugasnya kepada suami dengan adil yang disertai kesamaan, apakah itu dalam urusan rumah tangga maupun dalam pelayanan seksual. Apalagi jika waktu haid.
·      Kesalahpahaman kedua bahwa poligami mengakibatkan kecemburuan, perpecahan, dan permusuhan antara istri yang satu dengan lain bahkan sampai pada anak-anaknya.
Kami katakan bahwa kecemburuan antara satu istri dengan istri lain itu merupakan tabiat yang masih manusiawi yang tidak mungkin hilang begitu saja dari setiap orang. Kelemahan sikap suami dan ketidakmampuannya menetapkan keadilan kepada istri-istrinya. Penyelesaian paling baik terletak pada kepribadian seimbang di dalam diri laki-laki dalam mengelola rumah tangganya.
·      Kesalahpahaman yang ketiga adalah anggapan bahwa poligami merupakan penzaliman laki-laki terhadap wanita sert perendahan derajat dan kehormatannya. Bagaimanapun poligami merupakan rahmat bagi kaum wanita karena jumlah laki-laki siap menikah lebih sedikit daripada jumlah wanita yang siap menikah. Kita lihat bahwa poligami merupakan jalan untuk memelihara harga diri wanita dan menjadikannya sebagai istri terhormat daripada hidup sebagai kawan kencan atau wanita penghibur. Bahwa dengan demikian kaum wanita harus memahami bahwa tanpa praktik poligami, cita-cita dan harapan wanita menjadi ibu dan ibu rumah tangga serta kesejahteraan masyarakat tidak akan tercapai.
·      Kesalahpahaman keempat adalah anggapan bahwa poligami itu merupakan  penyebab terlantarnya pendidikan anak-anak. Dalam hal ini, poligami yang sesuai syariat Islam tidak dapat dikatakan sebagai faktor penyebab terlantarnya pendidikan anak-anak. Jika kita perhatikan, penyebab terlantarnya pendidikan anak-anak lebih disebabkan oleh ketidakpedulian orang tua sehingga banyak anak yang terjerumus pada pergaulan bebas untuk kemudian membawa mereka pada kebiasaaan meminum-minuman keras, berjudi, dan lain-lain
·      Kesalahpahaman kelima bahwa poligami menyebabkan banyaknya keturunan, padahal banyaknya keturunan menimbulkan pengangguran dan kemiskinan, adalah pernyataan yang sangat keliru. Bertambah banyaknya keturunan yang disertai kualitas pendidikan yang tinggi merupakan sarana untuk memperkuat umat dan mengembangkan kehidupan seperti yang terjadi di Jepang atau Cina. Banyaknya keturunan akan memperluas rezeki, sebagaimana telah Allah firmankan dalam ayat berikut ini :
 
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rizeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar,”( al-isra’:31)
·      Kesalahpahaman yang keenam bahwa kondisi perekonomian dewasa ini tidak memungkinkan seorang laki-laki berpoligami juga keliru. Dalam hal ini, masalah poligami merupakan problematika masyarakat dan agama, bukan problem ekonomi. Bagaimanapun, rezeki itu di tangan Allah, manusia tidak akan mampu menjamin kebahagiaan seorang laki-laki walaupun beristri satu orang[16].
G.      Dampak yang terjadi akibat poligami
Secara psikologis, semua istri akan merasa sakit hati jika melihat suaminya berhubungan dengan perempuan lain. Setidaknya ada dua faktor psikologis, pertama, didorong oleh rasa cinta setia istri yang dalam kepada suaminya. Umumnya, istri memercayai dan mencintai sepenuh hati sehingga dalam dirinya tidak ada lagi ruang untuk cinta terhadap laki-laki lain. Faktor kedua, istri merasa dirinya inferior seolah-olah suaminya berbuat demikian lantaran ia tidak mampu memenuhi kepuasan biologisnya. Memang tidak mustahil ada perempuan yang rela dan bersedia menerima poligami, tetapi kerelaan atu kesediaan dari satu atau sejumlah perempuan tidak boleh dijadikan acuan untuk menggeneralisasi, apalagi untuk memaksakan seluruh perempuan agar dapat menerima hal yang sama.
Problem psikologis lainnya adalah dalam bentuk konflik internal dalam keluarga. Baik diantara sesama istri, antara istri dan anak tiri, atau diantara anak-anak yang berlainan ibu. Ada rasa perrsaingan yang tidak sehat diantara istri. Hal itu terjadi karena suami biasanya lebih memerhatikan istri muda daripada istri lainnya. Bahkan tidak jarang setelah menikah, suami menelantarkan istridan anak-anaknya dari perrkawinan terdahulu sehingga putus hubungan dengan istri dan anak-anaknya. Bentuk implikasi lain dari poligami adalah kekerasan terhadap perempuan. Definisi kekerasan terhadap perempuan menurut pasal 1 deklarasi PBB tentang Penghapusan kekerasan terhadap perempuan adalah setiap tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang berakibat atau mungkin berakibat kesengsaraan atau penderitaan perempuan secara fisik, seksual, atau psikologis, termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi[17].

III.   KESIMPULAN
Di Indonesia, masalah poligami diatur dalam berbagai ketentuan hukum, seperti dalam Undang-Undang-undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, peraturan pemerintah No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 yang mengatur prosedur poligami bagi masyarakat secara umum. Poligami dalam Islam dipahami kebolehannya karena mengacu pada adanya nash. Poligami banyak dilakukan tanpa melihat persyaratan keadilan yang ketat kareana tidak adanya sistem kontrol. Kontrol keadilan selama ini hanya berdasarkan pelaku perkawinan poligami yaitu suami, bukan ditentukan oleh perempuan (istri) sebagai penerima keadilan itu. Perkawinan poligami sering terlaksana lebih karena faktor seksual daripada perlindungan sosial. Dampak adanya poligami bisa dikaji secara eksternal, internal, dan psikologis. Perlu disosialisasikannya pemahaman hukum yang berperspektif perempuan.






DAFTAR PUSTAKA
DR. Musfir Aj-Jahrani, Poligami dari Berbagai Persepsi, Gema Insani Pers, Jakarta: 1996
Drs. H.Hendi Suhendi, M.Si.dkk, Pengantar Studi Sosiologi Keluarga, Pustaka Setia, Bandung: 2001
Prof. Dr.Hj. Sri suhandjati Sukri, at al, Ensiklopedi Islam Perempuan, Nuansa,Bandung: 2009
Rochayah Machali, Wacana Poligami di Indonesia, Mizan Media Utama, Bandung: 2005
Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Universitas Indonesia Press, Jakarta : 1986




[1] Drs.H. Hendi Suhandi, M. Si, Pengantar Studi Sosiologi Keluarga, (Bandung:Pustaka Setia), hlm.121
[2] Rochayah Machali, Wacana Poligami di Indonesia,(Bandung:Mizan Media Utama), hlm.21
[3] Prof.Dr.Hj. Sri Suhandjati Sukri, at al, Ensiklopedi Islam Perempuan, (Bandung:Nuansa), hlm.300
[4] DR. Musfir Husain Aj-Jahrani, Poligami dari berbagai Persepsi ( Jakarta: Gema Insani Press) hlm, 39
[5]Rochayan Machali,Ph.D,dkk Ibid, hlm 23-25
[6] Rochayan Machali,Ph.D,dkk Ibid, hlm 30-34
[7]  Ibid, hlm, 40-41
[8] Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia (jakarta: Universitas Indonesia-Press) hlm, 63
[9] Prof.Dr.Hj.Sri Suhandjati Sukri, at al, ibid, hlm:302-303
[10] Dr. Musfir aj-Jahrani, ibid, hlm:40-41
[11] Rochayah Machali, op-cit, hlm:85-87
[12] Drs.H.hendi Suhendi, M.SI.Dkk, ibid hlm:123
[13]  Sayuti Thalib, ibid, hlm: 60-61
[14]  Dr.Musfir Aj-Jahrani, hlm: 67
[15]  Op-cit, hlm.72-74
[16]  Op-cit, 78-84
[17]  Rochayah machali, Op-cit, hlm. 69-72

1 komentar:

  1. seandainya kamu yg dipoligami gmn?
    kalo perempuan dipoligami dijanjiin surga ga?

    BalasHapus